Tampilkan postingan dengan label Opini. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Opini. Tampilkan semua postingan

Selasa, 24 Juni 2014

RIWAYAT UNIK NAMA KAMPUNG DI SEPUTAR ACEH

Riwayat Unik Nama Kampung di Seputar Daerah Aceh

Disusun kembali oleh : T. A. Sakti

Pengantar
. Penulisan ‘asal-usul’ nama desa ini merupakan ringkasan dari sejumlah paper mahasiswa semester V yang mengikuti mata kuliah sejarah Daerah Aceh yang saya asuh di FKIP  Unsyiah. Selama bertahun-tahun, paper-paper tugas para mahasiswa itu hanya saya simpan saja.  Tak pernah pula batin saya tergetar dan bergerak untiik mengolah kembali “pusaka terpendam ” itu,
Barulah setelah berlangsung “Seminar Napak Tilas Sultan Iskandar Muda” di Meureudu, Pidie, semangat menulis saya terpancing, Dalam seminar itu, asal-usul nama desa kedai Meureudu telah didiskusikan (Serambi Indonesia, 29Maret 1995 halaman 2).
Akibatnya, saya pun telah berusaha meringkas beberapa paper tersebut. Mudah-mudahan bermanfaat hendaknya.

ACEH UTARA
Alue Leuhob
Desa Alue Leuhob merupakan sebuah desa di kawasan Transmigrasi Buket Hagu Cot Girek Aceh Utara. Desa ini termasuk dalam Kecamatan Lhoksukon, Kabupaten Aceh Utara. Sejak tahun 1984, desa Alue Leuhob sudah termasuk desa mandiri atau lepas dari pengelolaan Departemen Transmigrasi. Dengan demikian Alue Leuhob merupakan Desa ke -100 di Kecamatan Lhoksukon, Kabupaten Aceh Utara.
Di saat orang pertama kali mendengar sebutan nama desa “Alue Leuhob”, mungkin saja yang dibayangkan “bau amis”, semberaut, tak terurus dan tak berprestasi apa-apa. Sebaliknya, di balik nama yang terkesan ‘kotor’ desa ini memiliki nilai lebih. Di antaranya, 4 kali juara Lomba Desa Teladan dan kebersihan di Kecamatan Lhoksukon  tahun 1989-1992. Di sampmg itu, sejak tahun 1990 dijadikan Induk dan Pusat Koperasi Transmigrasi dan Perkebunan Kelapa Sawit Wilayah Cot Girek. Prestasi yang lebih khusus di bidang pendidikan juga diraih, pernah mengharumkan nama desa Alue Leuhob. Salah seorang putra kelahiran desa ini, telah lulus ujian Sarjana dengan nilai “Cumlaude” atau tertinggi (baca : “Anak Transmigrasi yang Lulus Cumlaude” Majalah PANCA No. 25 Tahun halaman 39).
Nama Alue Leuhob berasal dari dua kata, yaitu “Alue” dan “Leuhob”. Alue, artinya sungai kecil, sedangkan Leuhob berarti lumpur. Secara sederhana Alue Leuhob berarti “Sungai Kecil yang berlumpur”. Sebenarnya, letak rawa-rawa  yang berlumpur ± 2 km di sebelah barat sebelum sampai ke desa ini. Apa boleh buat, masyarakat telah terlanjur menamakannya Alue Leuhob. Padahal desa ini “amat bersih” dari jebakan lumpur.

aceh selatan
Lama Inong
Pada zaman dulukala, Teuku Karim dari  desa Ujong Rimba, Pidie, bersama dua orang temannya berangkat merantau ke Aceh Barat. Pada mulanya mereka menetap di daerah Nagan (Jeuram) dan mulai membuka “seuneubok” lada, tempat bercocok tanam lada keumeukok (lada berekor).
Ketiga anak muda itu memiliki bakat pergaulan yang baik. Di siang hari mereka bekerja di kebun lada, sedang pada malam hari mengajar anak-anak mengaji Al-Qur’an dan mengajar Kitab-kitab kepada orang dewasa. Pengaruhnya semakin besar di kalangan rakyat daerah Seunagan
Melihat gelagat yang kurang menguntungkan dirinya, raja Jeuram mulai gelisah. Di carilah cara-cara agar ketiga anak muda itu mau pindah ke tempat lain. Akhirnya, raja berhasil membujuk mereka berangkat ke Aceh Selatan, karena di sanalah yang paling cocok untuk membuka Seuneubok lada. Setelah diberi perbekalan oleh raja, berangkatlah Teuku Karim bersama dua kawannya ke Aceh Selatan (yang waktu itu masih disebut Aceh Barat Leupah)
Ketika berada di Aceh Selatan, mereka menumpang tinggal di rumah seorang perempuan di suatu desa yang belum punya nama. Dengan diantar perempuan tua itu sebagai penunjuk jalan, barangkatlah mereka menjumpai raja Teuku Sarullah ke daerah “Kuala Batee”.
Kedatangan ketiga pemuda asal Pidie ini disambut baik oleh raja Teuku Sarullah. Kemudian, ketiganya menjadi tokoh-tokoh penggerak kemajuan rakyat di kerajaan “Kuala Batee”. Teuku Karim, Sesudah jadi tokoh masyarakat bergelar Teuku Syik Karim.
Peristiwa menumpangnya tiga pemuda perantau di rumah seorang perempuan tua itu, akhirnya menjadi “sejarah ” yang dikenang oleh rakyat kerajaan Kuala Batee. Sebabnya, ketiga anak muda tersebut telah mengukir “sejarah” yang indah bagi masyarakat di daerah itu. Mungkin untuk mengenang peristiwa itu, maka daerah tempat menginap/menumpang beberapa hari pemuda perantau itu, diberi nama “Lama lnong”, arti­nya perempuan lama  atau perempuan tua
Setelah kerajaan “Kuala Batee” runtuh, maka pusat kegiatan rakyat berpindah ke “Lama Inong”. Dalam ucapan sehari-hari, sebutan “Lama Inong” kadangkala terdengar terucap “Lamoi Inong”.


PEDIE
Jeurat Manyang
Kampung Jeurat Manyang ber­ada di kemukiman Jeurat Manyang, Kecamatan Mutiara, Kabupaten Pidie. Dalam bahasa Indonesia arti harfiah dari Jeurat Manyang, yaitu Kuburan Tinggi.
Pada zaman periode awal kedatangan agama Islam di Aceh, telah datang ke desa (yang sekarang bernama Jeurat Manyang) seorang ulama dari negeri Pasai (Kerajaan Samudra Pasai) dengan mengendarai seekor gajah. Menurut sumber cerita orang-orang tua, Ulama itu berasal dari suatu daerah bernama Jeurat Manyang (Rhang Manyang) di kerajaan Samudra Pasai, Aceh Utara. Masyarakat menyebut Ulama itu de­ngan gelar Teungku Jeurat Manyang.
Setelah tinggal menetap di di situ, Teungku Jeurat Manyang lalu mendirikan Dayah (Pesantren). Ketika segala rintangan dari penduduk setempat dapat diselesaikan dengan memuaskan, maka ke Dayah Jeurat Manyang banyak belajar para santri (Ureueng Meudagang) yang datang dari berbagai daerah.
Sewaktu Teungku Jeurat Manyang wafat, Dayahnya terus dikembangkan oleh murid-muridnya. Akhirnya untuk mengenang dan menghormati ulama ini, maka tempat daerah lokasi Dayah didirikan sekaligus tempat beliau dikuburkan dinamakan KampungJeurat Manyang. Jeurat Manyang, berarti di situ pernah berjasa Teungku Jeurat Manyang asal Pasai, Aceh Utara.
Pendapat lain mengatakan, bahwa asal mula nama Jeurat Manyang diambil dari tempat ulama itu dikebumikan. Kalau diperhatikan, letak kuburan itu memang pada tanah yang agak tinggi (bahasa Aceh : Manyang). Jeurat artinya: Kuburan. Jeurat Manyang makna harfiahnya “Kubur yang tinggi”.




ACEH BESAR

Kandang Cut
Kampung Kandang Cut termasuk dalam Kecamatan Darul Imarah, Kabupaten Aceh Besar. Menurut cerita seorang sesepuh desa, bahwa pada zaman dahulu di desa ini berdiri sebuah kerajaan yang besar dan megah. Kerajaan itu memiliki sebuah benteng terletak di Cot Kuta. Setelah berdiri sekian lama, kerajaan itu pun runtuh.
Sesudah kerajaan lebur, maka yang tinggal hanya kuburan raja-raja dan keturunannya. Sebagai penghormatan kepada para raja yang dikebu­mikan di situ, kuburan inilah dinamakan “Kandang”. Mungkin karena ada “Kandang Rayeuk” besar di tempat lain, maka makam raja ini dinamakan “Kandang Cut” artinya “Perkuburan kecil”. Seterusnya, nama desa itupun digelar orang Kampung Kandang Cut; artinya Cut atau Pocut (orang bangsawan) dikuburkan.
Perlu penulis tambahkan, dalam buku-buku “Sejarah Aceh”, disebutkan bahwa perkuburan “Kandang Cut” adalah juga kuburan atau makam-makam dan para keturunan dari Kerajaan Aceh Darussalam. Jadi, bukan kuburan keturunan raja Kerajaan yang berdiri di desa itu sendiri, sebagaimana dijelaskan sesepuh desa “Kandang Cut” tersebut
ACEH BARAT

* Alue Peudeueng
Desa Alue Peudeueng terletak di Kecamatan Kaway XVI, Kabupaten Aceh Barat. Menurut kisah, dulu nama kampung ini adalah Kuntirek, yakni sebelum “Peristiwa Perang” terjadi. Wilayah ini diperintah oleh seorang pemimpin yang bergelar Datuk. Pemimpin pertama bernama Datuk Raja Bujang. Wilayah kekuasaannya sangat luas, mulai Alue Gantung (menuang Kinco, sekarang) sampai ke Pasi Megat.
Secara berurutan Datuk-datuk yang pernah memerintah di daerah ini sebagai berikut : Datuk Raja Bujang, Datuk Teungku Meuko Cumeh, Datuk Keucik Padang, Datuk Keucik Kuta Baro, Datuk Genta Ali, Datuk Gadong, Datuk Jali, Datuk Bali, Datuk Sampe, dan Datuk Kaoy yang merupakan pemimpin yang bergelar Datuk paling akhir.
Kemudian pemimpin pemerintahan gelarnya diganti dengan se­butan  Keuchik. Nama-nama Keuchik adalah: Keuchik Utoh Dollah, Keuchik Teubok, Keuchik Saman, Keuchik Asyem, kemudian kembali kepada Keuchik Teubok sampai tahun 1953. Sejak tahun 1954, pemimpin desa Alue Peudeueng berada di tangan Keuchik Zakaria Adami (sampai penulisan catatan ini tahun 1991) masih tetap di tangan beliau (±37 tahun).
Setelah terjadi pembagian wilayah pada masa berkuasa Datuk-datuk, maka desa itu dinamakan Alue Peudeueng. Berdasarkan arti kata; Alue = Alur atau aliran sungai kecil, sedangkan Peudeueng berarti Pedang atau senjata tajam. Jadi, Alue Peudeueng artmya : aliran sungai yang ada pedangnya. Menurut cerita, pada suatu peristiwa perebutan kekuasaan zaman dulu, jatuhlah ke sungai sebilah pedang dari  salah satu pihak. Karena air sungai sangat curam deras, maka pedang itu tak dapat diambil lagi.

(Sumber:  Rubrik “Jendela”, Majalah PANCA, Kanwil Transmigrasi Aceh, September – Oktober 1995 halaman  27 – 28).

Melirik Aceh 4000 Tahun Lampau

ACEH 4.000 tahun lampau. atau di zaman prasejarah telah didiami manusia yang telah memiliki kebudayaan. Terbukti terdapatnya bukit-bukit kapur yang terkenal dengan Sumatera Lith di Tamiang Hulu. Sekitar 40 km dari kota Langsa, Aceh Tlmur.Malah terbentang mulai dari Aceh Utara sampai ke pantai Sumatera Timur. Diperkirakan berumur lebih kurang 4.000 tahun.
         Bukti lain, ditemukannya sebuah kerangka manusia di sekitar bukit Kelembei di Kecamatan Tamiang Hulu. Menurut ciri-ciri, jenis kelamin wanita, berumur sekitar 40 tahun. Tinggi I5O cm. bertengkorak lonjong. Akar hidung lebar dan gigi kecil-kecil. (Prof Dr T Yacob dalam bukunya Studi tentang Variasi Manusia di lndonesia,Yogyakarta 1973). Manusia prasejarah tersebut juga terdapat di sepanjang pantai Aceh Timur. Sejak dari Langsa sampai Peureulak, Idi Rayeuk, Julok dan Simpang Ulim. Juga terdapat bukti-bukti tentang adanya manusia pra­sejarah. berasal dari keturunan suku Trinil.
          Kemudian sekitar tahun 2.600 SM datang ke Indonesia, pada umumnya lebih maju dari penduduk yang telah ada. Diperkirakan ribuan tahun sebelumnya telah mendiami daerah Indo Cina (Funan, Campa dan Kamboja). Daerah mana disebut juga Hindia Belakang. Dalam antropologi budaya, mereka disebut juga sebagai golongan Proto Melayu atau Melayu Tua.
Tahun 1.500 SM datang pula gelombong kedua ke Aceh Timur. Juga dari Hindia Be­lakang, disebut Dietro Melayu dan kehidupan mereka lebih maju. Ini dapat dibuktikan dengan keahlian mereka di bidang tani, nelayan, ilmu falak, ilmu pemerintahan, ilmu dagang dan peternakan. Serta menggunakan uang untuk berjual beli.

Pengaruh Hindu/Budha Mazhab Mahayana
         Kekayaan dan kesuburan Pulau Sumatera, menyebabkan penduduk dari India Selatan meninggalkan negerinya, untuk mengadu nasib di lndo­nesia. Pengetahuan mereka lebih sempurna, sehingga dengan mudah mereka berkuasa. Sedangkan sebelum itu, penduduk asli Peureulak masih menganut kepercayaan yang berada dari jenis bangsa Austroloid, Proto Melayu dan Dietro Melayu, yaitu Dinamisme dan Animisme. Sekitar masa itu pula Aru dan Tamiang masih belum beragama.
Menurut Praodorigo dari Pordenone, tahun 1323 M, di Lamuri masih terdapat ma­nusia separuh telanjang. Adat perkawinannya juga belum teratur. Sedangkan gambaran masyarakat Aceh Timur waktu itu, lelaki dan perempuan sama-sama berambut panjang. Mengasah gigi dan dibubuhi baja sehingga hitam seperti gusi.
           Selain itu .sebelum awal tarikh masehi, masih diperkirakan Raja Poli (Pidie) sudah menganut agama Budha Mazhab Mahayana. Bekas kebudayaan Hindu dan Budha ini masih terkesan di Aceh Timur dan Aceh khususnya. Hingga sekarang masih menjadi tradisi. Baik kita lihat dalam tata laksana perkawinan maupun adat kebudayaan seperti:
1. Adanya bayangan kasta dalam kalangan masyarakat.
2 .Adanya tradisi yang menggambarkan kebudayaan dalam upacara perkawinan.

           Sebaliknya, pengaruh kebu­dayaan Tiongkok banyak pula didapati, terutama di Aceh Timur, seperti: buah tangan pada upacara perkawinan, seperti bawaan berupa benda diganti dengan uang. Dalam bahasa Aceh disebut Teumeutuk”. Demikian pula bawaan mempelai laki-laki. Harus membawa Tebu berdaun (Teubee meu on), kelapa terkupas (u meu lasoun). Serta membawa parakah (kotak berbentuk rumah adat) penuh dengan isinya (makanan).


Batu nisan  1000  tahun.
Berdasarkan pendataan sejarah pada 15 Juni 1979, setelah mengadakan peninjauan di beberapa lokasi tempat-tempat bersejarah di kawasan Peureulak, Aceh Timur.
Dr NA Baloch, dosen besar pada University Hyderabad Sind Pakistan (ahli sejarah Islam) berpendapat:
Melihat bentuk batu nisan yang berbentuk Halter (lihat foto), Dr NA Baloch menyatakan, umur batu nisan tersebut diperkirakan lebih dari 1.000 tahun. Baik NA Baloch maupun ketua pendataan benda-benda bersejarah M Arifin Amin BA bersama Ustad Zainuddin Saman belum dapat menaksir. Apakah batu nisan itu berasal dari kuburan seorang Hindu/Budha atau sesudah Islam berkembang di Peureulak, masih dalam pendata­an yang belum jelas. Peureulak kota tertua di Sumatera.


Dalam Prasati Tan Jore 1030
BATU NISAN - Batu Nisan yang ditemukan di lokasi Kerajaan Peureulak. Diperkirakan berumur lebih 1.000 tahun. M. Rendra Cola I mencatat kemenangan dalam perang melawan Indonesia khususnya di kawasan daerah Peureulak dan Pasai. Disebut sebagai Talai Tak Kolam. Di samping nama Kadara untuk Kedah, Illamuri de Gam untuk Lamuri. Maka yang disebut Talai Tak Kolam adalah Cot Kala yang berlokasi sekitar 5 km dari Aramiah, masih dalam lingkungan Kera­jaan Peureulak. Begitu juga yang disebut kota Rami oleh Kurdabeh (Abdullah Ibnu Ahmad) pengarang kitab Al Malik dan Mamalik di tahun 844-848 M. Juga oleh Abu Zaid Hasan pada tahun 916M. Juga tersebut kalimat Rami dan oleh saudagar Sulaiman Al Bashri Assirafi di tahun 851 M (Penga­rang buku Silsilatut-Tawarikh dan Akhiru  Was Sin).Melanjutkan pendapat, kota tertua di Sumatera tidak lain kota Armta atau Aramiah terletak di Kecamatan Langsa sekitar. 1.5 km dari kota Langsa. Pada masa itu, Aramiah merupakan kota perdagangan di zaman Kera­jaan Peureulak.


Pereulak Kerajaan Islam pertama
       Atas anjuran Khalifah Harun Al Rasyid, Khalifah Bani Abbasyiah untuk kesekian kalinya mengirim sebuah armada dakwah yang berjumlah 100 orang. Terdiri dari suku Arab, Parsi dan India muslim menuju Bandar Peureulak. Dikenal nama rombongan itu Nakhoda Bandar Khalifah. Mereka disambut baik oleh Meurah (Maharaja) Syahir Nuwi yang memerintah Kerajaan Peureu­lak waktu itu. Sejak tahun 173H-790 M, dilakukan berbagai metode dakwah dalam rangka pengislaman rakyat Peureulak.
          Dalam mengembangkan agama Islam, Nakhoda Khal­ifah mempunyai sistim yang menarik. Caranya, mendatangi kelompok dan kampung-karnpung penduduk yang belum Islam. Mengadakan pendekatan dengan cara tani, dagang serta mengikuti segala perilaku dalam penghidupan penduduk setempat. Sambil menanamkan ajaran Islam, yang kesemuanya mengandung unsur-unsur pendakwahan.
         Bersamaan dengan Itu, Putra Muhammad bin Jafar Assadiq bersama Ali bin Muhammad yang terjalin dari dua keturunan, yaitu keturunan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah binti Rasulullah SAW sebelah ayahnya serta Kisra Parsi dari pihak ibunya dan juga pihak ibu dari ayahnya tiba bersama rombongan. Di dorong oleh kenyataan, maka Meurah Syahir Nuwi yang juga berdarah Parsi segera mengawinkan Ali bin Muhammad dengan adik kandungnya sendiri.
Perkawinan antara bangsawan Quraisy dengan bangsawan Parsi di Peureulak kini dianugerahi pula  seorang putra yang diberi nama Said Abdul Azis. Ketika Abdul Azis telah dewasa dikawinkan pula dengan si putri sulung Meurah Syahi Nuwl yang bergelar putri Makhdum Kudawl.


Kerajaan Islam Peureulak diproklamirkan
          Sepanjang yang diceritakan M Yunus Jamil dalam buku silsilah Tawarikh rqja-rqja kerajaan Aceh. Dan Prof Ali Hasjmy  dalam novel Sejarah Meurah Johan Sultan pertama Darussalam Banda Aceh. Yang keduanya memetik dari kitab Adharul Haq f i Mamlakatil Peureulak oleh Abu Ishak Al Makarani
Kerajaan Islam Peureulak diproklamirkan pada sehari bulan Muharram (hari Selasa) tahun l225 H-840 M. Raja Islam kerajaan Peurelak per­tama. dinobatkan Sultan Alaidin Sayid Maulana Abdul Azls Syah Memerintah pada tahun 225-2- H atau 840-864 M. Pada peresmian kerajaan Islam ­Bandar Peureulak ditukar nama menjadi Bandar Khalifah. Sebagai kenangan kepada Nakhoda Khalifah. Dan sampai sekarang tetap dengan nama Bandar Khalifah
          Dari sinilah awal mula agama Islam disebar oleh Sayid Maulana Abdul Azis Syah ke seluruh pelosok nusantara dengan  catatan sebagal berikut: ke Jawa Barat oleh Maulana Fatahillah Syarif Hidayatullah (bergelar Sunan Gunung Jati). Ke Jawa Timur oleh Maulana Malik Ibrahim. Ke Brunai Darussalam oleh Syarif Ali. Ke Maluku Utara: 1. Kera­jaan Tidore oleh Syahadati, 2. Ternate oleh Mansur Malamo Jailo oleh Darajati. dll.


Benda-benda bersejarah
     Pendataan lain, dengan bukti-bukti setelah membongkar Makam Sultan Alaidin Maulana Abdul Azis Syah. Pada batu nisan terdapat tulisan Arab Khat Khufi. Sedang sebelah ujung nisan tersebut telah rusak berat akibat gangguan binatang ternak yang berkeliaran di kawasan tersebut. Namun saat ini telah dipugar. Tim ekspedisi mencari makam bersejarah di Peureulak dilakukan tahun 1974. Tim terdiri dari Drs Hasan Al Ambari, Ketua Lembaga Dinas Purbakala Pusat disertai saudari Una, didampingi Ketua Pendataan Aceh Timur M Arifin Amin BA. Dari hasil penyelidikan, disimpulkan dari segi buatan batu nisan, bentuk serta modelnya dan ukurannya dibanding dengan Pase, maka Peureulak lebih tua dari Kerajaan Pase.
Selain penemuan data-data otentik seperti benda-benda berupa naskah tua, kitab hikayat, mata uang dan sebagainya, juga ditemukannya bangunan kolam Mandi Putri Nurul’Ala yang terletak di kaki Bukit Paya Meligou, yang memerintah pada tahun 501-527 H atau 1108-1134 M.
          Di Bandar Khalifah dekat makam Abdul Azis Syah, juga terdapat makam Putri Makhdum Kudawi. Muatan galian yang dibuat Abdul Azls Syah, serta bekas masjid dayah Putroe  Nurul ‘Ala yang terletak di Desa Paya Meligou. Sedangkan di sekitar Takteh dan Paya Unou, terdapat makam ulama Sayed Ali Mukhayat Syah yang memer­intah tahun 302-305 H. Na­mun. yang terpenting dari semua pendataan dan pen­emuan adalah Dayah Cot Kala, bekas perguruan tinggi Islam dl zaman Kerajaan Islam Peureulak. Sedangkan benda bersejarah lainnya berupa naskah tua dan naskah Putri Nurul ‘Ala, hikayat Banta Beuransyah dan Hikayat Malem Dewa. Selain itu, dldapati juga mata uang Kerajaan Peureulak dan sebuah al-Qur’an tulisan tangan.
Demiklan penulisan yang bersahaja ini. Semoga sejarah dalam bentuk apapun dapat lebih dikembangkan. Yang pal­ing utama adalam penyelamatan benda-benda bersejarah, pendataan yang berkelanjutan, pemugaran walaupun secara bertahap. Serta pembangunan kembali lokasi-lokasi bersejarah, yang disesuaikan dengan marketing yang telah disain oleh pemuka, tokoh dan ulama Aceh Timur beberapa waktu lalu.

(Sumber:  Serambi Indonesia, Sabtu, 3 Agustus 1991 hlm. 8 ).

Menyibak Hubungan Persahabatan Aceh


Kerajaan Aceh tempo dulu telah mengadakan hubungan persahabatan dengan sesama kerajaan di kepulauan nusantara dengan tujuan perdamaian dan menggalang persatuan guna menghadapi musuh yang ingin menjajah bangsa Indonesia. Selain itu Aceh juga menjalin hubungan persahabatan juga ikut membina perdamaian dengan mancanegara atau dunia internasional, seperti yang tersimpul dalam rangkaian kata sempena yang melekat (inherent) pada kata Aceh Darussalam, kata HM Nur Rl Ibrahimy.
Dalam bukunya berjudul Selayang Pandang Langkah  Diplomasi Kerajaan Aceh ia menulis hubungan persahabatan kerjaan Aceh (bahkan telah membentuk persekutuan/aliansi militer) adalah dengan kerajaan Jepara di pulau Jawa.
Awal abad ke 16 katanya,  Jepara merupakan suatu kota pelabuhan yang berfungsi sebagai pintu gerbang komunikasi kerajaan Islam pertama di  Jawa yang berpusat di Demak.
Selain sebagai pusat perdagangan terbesar, Jepara juga merupakan pangkalan armada yang kemudian digunakan oleh Adipati Unus putra Raden Fatah untuk menyerang kekuasaan Portugis di Selat Malaka.  Jadi Jepara adalah  daerah paling  penting bagi kerajaan Islam Demak waktu itu, apalagi karena merupakan basis  angkatan laut kerajaan Demak cukup tangguh,  katanya..
Jepara waktu itu diperintah oleh seorang Ratu yang terkenal cantik bernama Ratu Kalinyamat. Suaminya Pangeran Hadiri, adalah seorang ulama berasal dari Aceh yang semula bernama Teungku Thayib. Setelah berada di Jawa ia mendapat panggilan Raden Thayib dan setelah menikah dengan Ratu Kalinyamat. Thayib dianugerahkan gelar Pangeran Hadiri, tulis M Nur yang mantan anggota DPR RI periode 1950-1960 tersebut.
Menurut riwayat, Teungku Thayib bertolak dari Aceh untuk memperdalam pengetahuan keagamaan. Negeri pertama yang ditujunya adalah Tiongkok. Saat berada di negara itu Kaisar Tiongkok berkenan mengakui beliau sebagai anak angkatnya dan diberi kedudukan cukup tinggi. Tapi Teungku Thayib tidak menghiraukan kedudukan yang diberikan kaisar Tiongkok karena pengembaraan yang dilakukannya bukan untuk mencari pangkat dan kedudukan. Maka ia pun meneruskan perjalanannya ke Negara lain.
Dalam pengembaraannya itu ia sampai ke Jepara. Di Jepara ia menghadap dan menyatakan sekiranya ratu berkenan memberikan kesempatan ia akan mengabdi untuk menegakkan kalimah Allah dan turut serta dalam usaha memakmurkan dan mensejahterakan rakyat daerah itu. Ratu dengan senang hati menerima permohonan Raden Thayib, tulis M Nur El-Ibrahimy yang juga pengarang buku berjudul Catur Politik Imperialis (Inggris, Perancis, Italia dan Amerika) itu.
Suami istri
Pembawaannya yang lemah lembut, budi pekertinya yang tinggi sebagai cermin sikap seorang ulama yang saleh, bijaksana dalam menghadapi segala lapisan masyarakat sebagai menifestasi dari kepemimpinan yang mengayomi, membuat wanita agung itu tertarik kepadanya, Ratu Kalinyamat berkenan meminta Raden Thayib menjadi suaminya. Tawaran itu tidak ditolak sehingga ia dianugerahkani gelar Pangeran Hadiri. Putra Aceh itu akhirnya menjadi mitra Ratu Kalinyamat dalam mengayuh bahtera Kerajaan Jepara.
Cinta kasih Ratu kepada Pangeran Hadiri benar-benar tak terpisahkan semasa hidupnya selalu bersama dan bahkan makam mereka yang berada di belakang masjid Mantingan juga letaknya berdampingan, tulis M Nur.
Menurutnya, makam tesebut dibangun sendiri oleh Pangeran Hadiri tujuh kilometer dari kota Jepara. Sekarang setiap hari Senin dan Kamis pon banyak pengunjung datang berziarah ke makam mereka itu. Kerajaan Aceh waktu itu menilai posisi Jepara cukup kuat sebagai sebuah kerajaan Islam di Jawa dan mempunyai kedudukan strategis serta armada cukup tangguh. Karena itu, kerajaan Aceh berkeinginan menjalin hubungan persahabatan dengan kerajaan tersebut, bahkan ingin mengajak Jepara membentuk suatu persekutuan militer (alliance) untuk menghadapi musuh bersama, yaitu Portugis di perairan Selat Malaka.
Tahun 1568, sebuah perutusan kerajaan yang terdiri dari beberapa duta besar dikirim oleh Sultan Aceh untuk menemui Ratu Jepara, tetapi ketika kapal perang Aceh berada di perairan Selat Malaka, dicegat oleh armada Portugis yang berjumlah besar. Perutusan kerajaan Aceh ditawan dan semua yang berada di atas kapal dibunuh. Sehingga misi kunjungan muhibbah pertama sebagai upaya menjalin hubungan persahabatan gagal dicapai kedua  kerajaan berpengaruh di nusantara ini.
Akhirnya, pada  1573 Aceh- Jepara berhasil membentuk suatu persekutuan militer untuk menghadapi Portugis yang ingin menguasai Selat Malaka dan seterusnya berkeinginan besar menguasai kepulauan nusantara. Sejak itulah, kedua kerajaan Islam. Aceh dan Jepara bahu membahu melawan Portugis di Selat Malaka,  kata HM. Nur El-Ibrahimy melukiskan hubungan kedua kerajaan yang bersatu menggalang kekuatan untuk mempertahankan kerajaan Islam di nusantara.

( Sumber: Serambi Indonesia, Minggu,  22 Februari 1998 halaman “Budaya” )