Minggu, 23 November 2014

Di Pulau Terluar, Tenaga Medis dan Guru Pun Enggan Singgah

PULAU ACEH - Warga pulang ke Pulau Breuh, Kecamatan Pulau Aceh, Kabupaten Aceh Besar menggunakan perahu nelayan, Senin (24/2). Warga dari 12 kecamatan di Kecamatan Pulau Aceh terpaksa menyeberang ke tempat tinggal mereka dari Pelabuhan Lampulo, Kota Banda Aceh menggunakan kapal kayu karena tidak ada kapal penyeberangan yang disediakan pemerintah
Hanya berjarak dua jam dari Banda Aceh, warga susah mengakses layanan kesehatan dan pendidikan.
Kapal penyeberangan telah dipenuhi sekitar 30 penumpang, 10 sepeda motor, kebutuhan pokok masyarakat, serta bahan bangunan juga selesai dinaikkan ke kapal ukuran 5x13 meter. Mesin kapal mulai dihidupkan. Dengan sigap anak buah kapal (ABK) melepaskan tali ikatan kapal di pelabuhan nelayan yang terletak di Lampulo, Kota Banda Aceh.
Hari itu, Sabtu (22/2) siang, kapal dengan perlahan meninggalkan Pelabuhan Lampulo. Sekitar 10 menit berjalan, kapal telah berada di laut lepas. Nakhoda langsung mengarahkan arah depan kapal menuju Pulau Breuh.
Jangan dibayangkan kapal tersebut memiliki fasilitas memadai untuk disebut kapal penyeberangan atau layaknya kapal penyeberangan yang dikelola Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan (ASDP). Kapal itu hanya kapal penangkap ikan yang disulap menjadi kapal penyeberangan.
Kapal kayu tersebut sudah belasan tahun mengangkut warga pulang pergi ke Pulau Breuh yang merupakan salah satu dari dua pulau terluar di ujung barat Indonesia, yang masuk dalam Kecamatan Pulo Aceh, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh.
Selain Pulau Breuh, satu lagi pulau yang berpenghuni di Kecamatan Pulo Aceh tersebut adalah Pulau Nasi. Pulo Aceh dihuni 5.000 jiwa yang tinggal di 17 desa. Lima desa terdapat di Pulau Nasi, sedangkan 12 desa lainnya terdapat di Pulau Breuh.
Sekitar dua jam menyusuri lautan, mata langsung tertuju ke depan kapal. Terlihat pemandangan indah Pulau Breuh. Hamparan pasir putih terbentang di bibir pantai dengan deburan ombak berkejar-kejaran. Hal ini memancing pengunjung untuk segera melompat dan melepaskan penat setelah dua jam menyeberangi lautan.
Berkeliling Pulau Breuh atau saudaranya Pulau Nasi, pengunjung akan dimanjakan indahnya hamparan pantai dan indahnya deburan ombak.
Rinaldi, salah seorang warga Banda Aceh yang sudah beberapa kali berkunjung ke Pulau Breuh, menyebutkan di Pulau Breuh dan Pulau Nasi, terdapat 21 tempat snorkeling dan diving. Dengan hamparan karang di bawah laut yang masih sangat alami dan jarang dikunjungi wisatawan, ini membuat Pulau Breuh dan Pulau Nasi masih sangat perawan.
Namun, indahnya Pulau Breuh, tidak seindah kehidupan masyarakatnya. Masyarakat di pulau ini harus hidup serbakekurangan, bahkan Perusahaan Listrik Negara (PLN) baru mengaliri listrik ke daerah ini sekitar tahun 2012.
Hingga saat ini, masyarakat di Kecamatan Pulo Aceh masih kesulitan mendapatkan pelayanan kesehatan dan pendidikan yang memadai untuk anak-anak mereka.
Untuk mendapatkan kesehatan yang baik, warga dari 17 desa di pulau yang jarak tempuhnya sekitar dua jam dari Kota Banda Aceh tersebut, harus menuju ibu kota Kecamatan, Lampuyang. Mereka harus berjuang keras dengan jarak tempuh yang sangat jauh. Hal ini ditambah jalan yang berbatu dan tak pernah teraspal sejak bendera merah putih berkibar dengan bebas di negeri ini.
Hal yang sama juga terjadi bagi anak-anak yang tinggal di Pulo Aceh untuk mendapatkan akses pendidikan. Meskipun mereka telah berjuang agar dapat ke sekolah, pihak sekolah lebih sering libur karena guru yang tidak masuk. Mereka terpaksa hanya puas setelah menamatkan sekolah dasar (SD). Untuk melanjutkan pendidikan ke SMP, mereka harus berpikir berkali-kali karena jarak sekolah belasan kilometer.
Akses Kesehatan Susah
“Pulo Aceh serbakekurangan. Untuk mendapatkan akses kesehatan saja susahnya minta ampun. Kami harus berjalan belasan kilometer dengan sepeda motor baru bisa sampai ke puskesmas,” ucap Sekretaris Desa Lapeng, Kecamatan Pulo Aceh, Zainuddin.
Ia menyebutkan, warga Desa Lapeng harus melewati jalan terjal dan berbatu sejauh 17 kilometer agar bisa mendapatkan pelayanan kesehatan di puskesmas. “Jalan yang kami lalui sangat terjal, bahkan beberapa tempat sepeda motor tidak bisa dinaiki dua orang,” ujarnya.
Zainuddin menyebutkan, ia pernah harus membawa istri yang sedang hamil 8,5 bulan ke puskesmas dengan sepeda motor. Ia harus mengendarai sepeda motor empat jam lebih karena jalan yang berbatu dan rusak. Selain itu, dia harus sangat berhati-hati karena istrinya sedang hamil tua.
“Bidan tidak bisa diandalkan karena mereka tidak mau datang ke desa kami. Mereka malah menyebutkan, kalau warga membutuhkan pelayanan kesehatan, harus ke puskesmas,” ujar Zainuddin.
Padahal, layanan kesehatan yang mudah diakses menjadi janji pemerintah pusat dan daerah guna mengurangi angka kematian ibu dan bayi, penyakit menular (HIV/AIDS), dan menyahuti langkah Millenium Development Goals (MDGs).
“Meskipun pemerintah telah melaksanakan banyak program untuk memudahkan warga mendapatkan akses kesehatan, hingga saat ini kami masih kesulitan mendapatkan pengobatan yang memadai jika sakit. Akhirnya, dukun atau pengobatan tradisional menjadi andalan mereka,” kata Usmanuddin, salah seorang warga Lapeng.
Tidak hanya di Desa Lapeng, masyarakat yang tinggal di Desa Meulingge juga merasakan hal yang sama. Mereka harus menempuh dua jam perjalanan untuk mencapai puskesmas. Waktu yang sama juga mereka habiskan menuju ke Banda Aceh, ibu kota Provinsi Aceh dengan menggunakan perahu nelayan. Pemandangan yang wajar ketika kasus-kasus kehamilan lebih banyak ditangani dukun desa daripada tenaga medis.
Muhammad Yasir mengingat beberapa bulan lalu, seorang perempuan bernama Asiah meninggal setelah melahirkan bayinya.
“Hanya dukun beranak yang datang membantu Asiah. Dengan keterbatasannya, perempuan tua itu berusaha menyelamatkan ibu dan si anak. Mau dibawa ke puskesmas tidak mungkin karena jaraknya terlalu jauh dan jalan hancur. Dibawa ke rumah sakit di Banda Aceh juga tidak mungkin karena saat itu cuaca sedang buruk dan ombak sangat tinggi,” ucap nelayan yang kerap disapa Yasir itu.
Beberapa jam setelah itu, anak tersebut lahir. Namun, masalah menimpa sang ibu karena mengalami pendarahan. Dukun beranak itu tidak bisa menolong ibu yang baru melahirkan tersebut hingga ajal menjemputnya tiga hari setelah melahirkan.
“Pustu telah didirikan di kampung kami beberapa tahun setelah tsunami melanda Aceh pada Desember 2004. Namun sampai saat ini, tidak ada petugas medis yang ditempatkan di desa kami,” tuturnya.
Pendidikan Terbatas
Tidak hanya bidang kesehatan, pendidikan untuk anak-anak di Pulo Aceh juga sangat terbatas. Sebagian besar anak-anak di pulau barat Indonesia tersebut hanya tamat SD. Mereka bukan tidak mau melanjutkan ke SMP, melainkan letak sekolah lanjutan yang sangat jauh sehingga tidak mungkin mereka berjalan kaki.
Masalah lainnya, guru juga sangat kurang di Pulo Aceh. Meskipun setiap tahun selalu ada perekrutan guru untuk ditempatkan di Pulau tersebut, sebagian besar guru yang telah lulus PNS enggan mengajar ke sana.
“Pendidikan di tempat kami, Pulo Aceh, sangat memprihatinkan. Tidak ada guru yang betah tinggal di kampung kami,” kata Rahimah, seorang warga Desa Meulingge, Kecamatan Pulo Aceh.
Desa Meulingge terletak di paling ujung Pulo Aceh yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia. Meski bangunan sekolah telah didirikan lembaga donor beberapa tahun setelah tsunami menghantam, siswa tidak bisa belajar karena tidak ada guru.
“Memang pemerintah sering menempatkan guru di desa kami. Namun, mereka jarang mau tinggal di desa kami yang jauh dari Kota Banda Aceh,” katanya.
Guru-guru yang ditempatkan di SD Meulingge jarang mau datang. Umumnya, mereka langsung mengajukan pindah tugas ke luar Pulo Aceh setelah mendapatkan Surat Keputusan (SK) Pengangkatan. “Saat ditugaskan ke Pulo Aceh, mereka juga jarang datang untuk mengajar. Akhirnya, anak-anak kami tidak sekolah karena tidak ada guru,” katanya.
Bahkan, di SD Negeri Lapeng, hanya memiliki tiga guru kontrak dan sangat jarang mereka mengajar. Akhirnya, anak-anak di desa tersebut lebih banyak libur daripada belajar.
“Cukup banyak guru yang yang telah ditugaskan ke Lapeng, tetapi tidak ada yang menetap. Mereka umumnya tetap memilih tinggal di luar Pulo Aceh dan datang ke Pulo Aceh sesuka hati mereka,” tutur Zainuddin.
Zainuddin mengatakan telah menyampaikan masalah tersebut kepada pemerintah Aceh Besar. Namun hingga kini, persoalan itu tak kunjung selesai. Padahal, sebagian besar desa telah menyediakan rumah untuk guru agar mereka tetap tinggal di Pulo Aceh dan mengajarkan anak-anak.
“Saya sudah tiga tahun tidak sekolah. Kalaupun saya sekolah, guru tidak ada. Jadi, saya memilih melaut saja,” kata Darkasi, seorang remaja Pulo Aceh.

Sumber : Sinar Harapan